SHIP Virtual Tur - Patiayam Explorer












Sekilas Pandang Museum Patiayam
Museum Situs Patiayam adalah museum khusus yang memamerkan berbagai peninggalan purbakala yang ditemukan di sekitar Situs Purbakala Patiayam. Pendirian museum diadakan pada tahun 2009. Pembangunannya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kudus. Kepemilikan dan pengelolaan museum diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus. Koleksi utamanya berupa fosil gajah purba. Sedangkan koleksi lainnya meliputi berbagai fosil fauna dan alat-alat batu. Di dalam museum ini terdapat 16 spesies fauna. Alamat museum di Kancilan, Terban, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah. Museum Situs Patiayam berada di titik koordinat: 6°47’37.5” Lintang Selatan dan 110°56’18.6” Bujur Timur. Akses ke museum dapat dari arah Bandar Udara Jenderal Ahmad Yani dengan jarak tempuh sejauh 72,4 kilometer. Selain itu, dapat pula dari Stasiun Semarang Tawang sejauh 64,9 kilometer, atau dari Terminal Tipe A Jati sejauh 17,9 kilometer.
Situs purba Patiayam memiliki persamaan identik dengan situs purba di Sangiran, Trinil, Mojokerto, dan Nganjuk. Keunggulan situs Patiayam diantara situs lain adalah kandungan fosilnya yang utuh. Hal tersebut dikarenakan penimbunan abu vulkanik halus dari Gunung Muria sehingga proses pembentukan fosil berlangsung sangat baik. Lokasi sekitar dari situs ini tidak didapati sungai besar, sehingga fosil-fosilnya tidak berpindah-pindah lokasi akibat erosi sungai. Keadaan tersebut cukup berbeda dengan situs purbakala lainnya karena secara umum, fosil ditemukan pada endapan kotoran hewan.
Situs Patiayam merupakan salah satu situs yang memiliki fosil terlengkap. Situs ini memiliki artefak budaya dan fosil dari manusia purba (Homo erectus), fauna vertebrata hingga fauna invertabrata. Artefak budaya berupa alat-alat batu manusia purba yang ditemukan berada dalam satu seri pelapisan tanah yang tidak terputus sejak satu juta tahun yang lalu.
Morfologi tanah dari situs Patiayam merupakan sebuah kubah (dome) dengan puncak ketinggian (Bukit Patiayam) 350 Mdpl. Terdapat juga batuan dari zaman Plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba yang terendap dalam lingkungan sungai dan rawa-rawa.
Sejarah
Situs Patiayam sudah lama dikenal sebagai salah satu situs manusia purba (hominid) di Indonesia. Fosil binatang purba seperti kerbau, gajah, dan tulang lain juga telah ditemukan oleh penduduk setempat. Diantara fosil-fosil yang ditemukan, fosil gading gajah purba Stegodon trigonocephalus merupakan fosil andalan di situs Patiayam. Atas signifikansi sejarah dari Situs Patiayam, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah menetapkannya sebagai cagar budaya Sejak 22 September 2005.
Sejak tahun 1931 peneliti asal Belanda Louis Jean Chretien van Es telah melakukan serangkaian penelitian di situs Patiayam. Ia menemukan sembilan jenis fosil hewan vertebrata. Hingga tahun 2007, berbagai penelitian telah dilakukan dan berhasil menemukan 17 spesies hewan vertebrata dan tulang belulang binatang purba. Fosil tulang tersebut antara lain: Stegodon trigonochepalus (gajah purba), Elephas sp (sejenis Gajah), Rhinocecos sondaicus (badak), Bos banteng (sejenis banteng), Crocodilus, sp (buaya), Ceruus zwaani dan Cervus atau Ydekkeri martim (sejenis Rusa) Corvidae (Rusa), Chelonidae (Kura-Kura), Suidae (Babi Hutan), Tridacna (Kerang laut), Hipopotamidae (Kudanil).
Temuan fosil-fosil di Patiayam memiliki keistimewaan daripada fosil temuan di daerah lain karenakan sebagian situs yang ditemukan bersifat utuh. Seiring waktu, banyak fosil ditemukan di situs ini. Hasil temuan dari fosil ini awalnya di tempatkan di kediaman warga. Kemudian muncul gagasan untuk dibangun museum khusus sebagai tempat penampungan fosil-fosil temuan.
Museum Patiayam pertama kali ini berlokasi di Desa Terban, Jekulo, Kudus, tidak jauh dari Dome Patiayam. Bangunan awal masih sangat sederhana dan terletak di lahan milik pemerintah Desa. Kemudian dibangunlah gedung yang lebih besar dengan kapasitas 2 lantai pada tahun 2016.
Hingga sekarang, terkumpul lebih dari 1.3000 fosil purba berusia antara 700.000 sampai 1 juta tahun. Saat ini, Museum Purbakala Patiayam Kudus menyimpan sekitar 10 ribu fosil yang berasal dari 17 spesies hewan purba. Ada berbagai jenis hewan purba seperti gajah, banteng, rusa, hingga binatang laut yang diduga hidup ribuan tahun silam.
Selama ini, Proses penyelamatan dan pelestarian Situs Patiayam dilakukan oleh Pemkab Kabupaten Kudus. Badan Pelestarian Kebudayaan dan Unit Situs dan Museum Sangiran turut mendukung penuh upaya tersebut. Situs dan Museum Patiayam kemudian menjadi ikon masa depan dan bekerja sama dengan Balai Arkeologi untuk penelitian dan ekskavasi.
Dari sekitar 10 ribu fosil tersebut, kini baru separuhnya yang dipajang di gedung yang lama. Sebagian lain masih berada di gudang untuk dikonservasi dan diidentifikasi. Rencananya, fosil yang sudah dikonservasi dan berhasil diidentifikasi akan dipajang di gedung baru. Pemerintah Kabupaten Kudus kemudian menganggarkan sekitar 2 Milliyar rupiah untuk membangun lagi gedung Museum. Gedung baru dengan desain identic kemudian diresmikan pada seminar hasil kajian koleksi Museum Situs Purbakala Patiayam, Senin (24/7/2023) oleh Bupati Kudus, Hartopo .
Kegiatan
Museum Situs Patiayam berdekatan dengan Situs Purbakala Patiayam. Kegiatan yang dilakukan oleh pengelola museum berkaitan dengan penggalian fosil di Situs Patiayam. Museum Situs Patiayam dijadikan sebagai tempat menganalisa fosil-fosil yang ditemukan oleh arkeolog. Keberadaan museum ini juga menjadi tempat pariwisata yang melengkapi beberapa wisata alam lainnya di Kabupaten Kudus. Kegiatan museum yang berkaitan dengan penggalian untuk pencarian fosil dilakukan dengan seizin dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus
Linimasa Sejarah Museum Patiayam
1857 – Ekskavasi Masa Hindia Belanda
Raden Saleh Sarif Bustaman dan Frans Wilhem Junghuhn, dua orang naturalis yang meneliti kebaradaan fosil di Situs Patiayam. Berawal dari tahun 1857 pada masa kolonial, di Situs Patiayam telah ada penemuan fosil-fosil dan penggalian di kawasan Pegunungan Patiayam yang dilakukan oleh pakar-pakar asing.
Disebutkan bahwa ada seorang intelektual Jawa sekaligus pelukis naturalis terkenal yang bernama Raden Saleh dan seorang naturalis dari Jerman, Frans Wilhelm Junghuhn, yang mengumpulkan fosil-fosil dari Pegunungan Patiayam bersamaan dengan pengumpulan fosil-fosil di lereng Pegunungan Kendeng Jawa Tengah dan Jawa Timur (Leakey & Slikkerveer, 1995).
Pada tahun 1931, Jawatan Pertambangan Hindia Belanda (Diens van den Mijbow in Nederlandsch Indie) melakukan penelitian ilmiah di Kawasan Pegunungan Patiayam melibatkan Louis Jean Chretien Van Es (Tenaga Ahli Muda) sebagai peneliti pendamping ekspedisi Prof. Dr. William D. Matthew.
Semua penelitian ini dimaksudkan untuk kepentingan pengumpulan data terkait agrikultur dan eksplorasi mineral namun ternyata menemukan 9 jenis fosil vertebrata, meliputi Stegodon Trigonochepalus, Elephas sp, Rhinnoceros Sondaicus, Bos banteng, Crocodilus sp, Cervus zwaani, Chelonidae, Suidae, dan Hipopotamidae (Widiasuryani, 2018).




1978 – Ekskavasi Masa Kemerdekan Indonesia
Tahun 1978 mulai dilakukan penelitian lagi oleh Sartono Sastromidjojo dan Yahdi melanjutkan dan melengkapi temuan Van Es, dan berhasil menemukan 17 species vertebrata serta sisa fosil Homo Erectus (manusia purba), berupa sebuah gigi premolar dan fragmen tengkorak (Sartono, 1978). Hasil penelitian geologis oleh Sartono dan Zaim (1978) menyebutkan bahwa sifat batuan Situs Patiayam tidak berbeda jauh dengan batuan dari Kubah Sangiran (Sangiran Dome). Ditinjau dari temuan fosil fauna vertebratanya juga tidak berbeda jauh antara Situs Patiayam dan Situs Sangiran. Dari tahun 1981-1983 Harry Truman Simanjuntak melakukan penelitian arkeologis di sepanjang aliran sungai (Kali Balong dan Kali Ampo), dari hulu hingga hilir (Batas Raya Jalan Pati – Kudus), tidak menemukan sisa-sisa artefak batu tapi hanya menemukan fosil-fosil vertebrata.



2005 – Ekskavasi Periode Rumah Fosil
Sebelum bangunan Museum Patiayam berdiri seperti sekarang ini fosil-fosil yang ditemukan di Situs Patiayam, dititipkan penyimpanannya di rumah salah satu warga Desa Terban Dusun Kancilan yaitu rumah Alm. Rakijan Mustofa, sebagai bentuk usaha penyelamatan dan pelestarian terhadap fosil tersebut sebagai benda cagar budaya. Kondisi rumah penduduk tersebut, tentunya jauh dari persyaratan sebagai sebuah museum. Karena itu istilah yang digunakan pada saat itu adalah “Rumah Fosil”, rumah yang difungsikan untuk menampung dan menyimpan temuan fosil saja.
Dari sebuah media cetak di Jawa Tengah diungapkan adanya temuan fosil oleh sejumlah mahasiswa yang melakukan penelitian di Situs Patiayam yang bentuknya seperti gading dan tulang-tulang binatang, dibawa ke Bandung. Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian arkeologi secara intensif di Situs Patiayam, dipimpin oleh Siswanto (Siswanto, 2006). Selain itu, Tim Peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta lainnya (Dr. Harry Widianto bersama Drs. Muhammad Hidayat dan Drs. Baskoro Daru Tjahjono) juga melakukan penelitian di Situs Patiayam, dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Situs Patiayam dikenal sejak lama sebagai Situs Hominid (manusia purba) di Indonesia (Widiasuryani, 2018). Tahun 2007 diadakan penelitian dan eskavasi di Situs Patiayam oleh Balai Arkeologi Yogyakarta yang dipimpin oleh Siswanto, MA, untuk pertama kalinya menemukan jejak-jejak budaya, yaitu perkakas batu (litik) berupa serpih, kapak genggam (hand axe), serut, dan kapak perimbas yang terbuat dari gamping kersikan (Siswanto, 2007). Balai Arkeologi Yogyakarta masih melakukan penelitian untuk memperoleh batas persebaran fosil dan budaya, bertujuan untuk identifikasi fauna yang diperoleh oleh masyarakat dan fosil dari hasil penelitian sebelumnya (Siswanto, 2009).






2010- Periode Museum Patiayam
“Museum” dipindahkan dari “Rumah Fosil” ke lingkungan Balai Desa di Desa Terban, menempati bangunan eks ruang Polindes atau PKD (Pusat Kesehatan Desa) di Desa Terban. Tempat ini menjadi tempat sementara untuk menyimpan fosil-fosil hasil temuan di Situs Patiayam (meneruskan fungsi rumah fosil yang lama), sekaligus sebagai ruang pamer (display) fosil. Bangunan rumah ini memiliki 2 ruangan yang difungsikan sebagai ruang display dan ruang storage / penyimpanan sekaligus bengkel konservasi. Pengelola “Museum” sementara adalah anggota paguyuban pelestari Situs Patiayam.
Pada tahun 2013 Pemerintah Kabupaten Kudus mendirikan bangunan sederhana di atas tanah sewa, milik pemerintah Desa Terban, yang digunakan untuk gedung Museum. Sejak tahun 2013 ini, fosil-fosil hasil temuan di Situs Patiayam ditampung dan disimpan di Museum Patiayam. Museum Patiayam tempat menampung, menyimpan, dan menyelamatkan temuan fosil yang sudah semakin bertambah banyak. Sejak tahun 2014 bangunan Museum Patiayam direhab dan diperbaiki kembali dengan pengembangan ukuran bangunan 12 X 20 meter, didirikan di atas tanah milik Pemerintah Desa Terban, yang disewa oleh Pemerintah Kabupaten Kudus, dengan luas tanah 7.500 m2.
Sebagai salah satu bentuk penyelamatan Cagar Budaya di Situs Patiayam dan sekaligus sebagai pendukung Museum Patiayam, maka dibangun Gardu Atraksi / Gardu Lindung di lereng sebelah barat Gunung Nangka. Gardu ini sebenarnya berfungsi sebagai bangunan perlindungan temuan fosil yang masih dibiarkan berada di lokasi tempat penemuannya.
Gardu atau bangunan berbentuk kotak ini dibangun untuk melindungi temuan fosil, sehingga sekaligus berfungsi sebagai “Museum Alam” atau “Laboratorium” alami. Nama yang lebih tepat untuk bangunan ini adalah “Gardu Perlindungan Fosil”.





